RENUNNGAN ISLAM-DULU SEBELUM MURTAD (2/5B)

 

Pernikahan Nabi Dengan Safiyah 

Cerita pernikahan Safiyah hampir tidak berbeda dengan Juwariyah. Safiyah (17 th) wanita cantik istri Kinana, pemimpin yahudi di Khaibar yang makmur. Yahudi khaibar juga diserang Nabi dan pasukannya secara mendadak. Orang tua, suami dan banyak saudaranya dibunuh dalam serangan ini. Serangan ke Khaibar ini terjadi tidak lama setelah perjanjian Hudaybiyya. 

Berikut cerita mengenai pernikahan Nabi dengan Safiyah dari Hadiths: 
Sahih Al-Bukhari, Volume 1, Book 8, Number 367 
Anas berkata: “Pada waktu Nabi menyerang Khaibar, kami melakukan shalat subuh disana dan saat itu masih gelap.Nabi mengendarai kuda dan juga Abu Talha dan saya mengendarai kuda dibelakang Abu Talha. Nabi melewati tepi Khaibar dengan cepat….Pada waktu Nabi masuk kota, beliau berkata, “Allahu Akbar! Khaibar hancur. Setiap saat kami mendekati bangsa (yang jahat)(untuk bertempur) maka setan akan menjadi pagi hari bagi mereka yang telah diperingatkan.”. Nabi mengulang ini tiga kali. Orang-orang keluar untuk bekerja dan beberapa dari mereka berkata, “Muhammad (telah datang).” (beberapa dari teman kami menambahkan, “dengan serdadunya”). Kami menaklukan Khaibar dan mengambil para tawanan, dan booty (rampasan perang) dikumpulkan. Dihya datang dan berkata, “O Nabi! Beri saya budak dari para tawanan.” Nabi berkata, “Pergi dan ambil budak perempuan manapun.” Dia mengambil Safiya’ bint Huyai. Seorang laki-laki datang menghadap Nabi dan berkata, “O Nabi! Anda memberikan Safiya bint Huyai kepada Dihya dan dia adalah ibu dari Bani Quraiza dan an-Nadir dan dia hanya pantas untuk anda.” Maka Nabi berkata, “Bawa dia bersama dengan Safiya.” Kemudian Dihya datang bersama Safiya dan pada waktu Nabi melihat Safiya, Nabi berkata kepada Dihya, “Ambil budak perempuan dari para tawanan selain Safiya.” Anas menambahkan: Nabi kemudian membebaskan dan menikahinya.”
Thabit bertanya kepada Anas, “O Abu Hamza! Apa yang Nabi bayarkan kepada Safiya (untuk Maharnya)?” Dia berkata, “Safiya sendiri adalah maharnya karena Nabi membebaskannya dan kemudian menikahinya.” Anas menambahkan, “Dalam perjalanan, Um Sulaim merias Safiya untuk (acara) pernikahan dan pada malam hari dia memberikan Safiya sebagai mempelai perempuan untuk Nabi. Jadi Nabi adalah mempelai laki-laki dan beliau berkata,”Siapapun yang memliki (makanan) harus dibawa kesini.”Dia menghamparka sehelai kulit (untuk makanan) dan beberapa membawa kurma beberapa cooking butter. (Saya pikir dia (Anas) menyebut As-Sawiq). Maka mereka menyiapkan makanan Hais. Dan itu adalah Walrma (banquate pernikahan) Nabi.” 

versi bahasa Inggrisnya: 
Narrated ‘Abdul ‘Aziz:
Anas said, ‘When Allah’s Apostle invaded Khaibar, we offered the Fajr prayer there early in the morning) when it was still dark. The Prophet rode and Abu Talha rode too and I was riding behind Abu Talha. The Prophet passed through the lane of Khaibar quickly and my knee was touching the thigh of the Prophet. He uncovered his thigh and I saw the whiteness of the thigh of the Prophet. When he entered the town, he said, ‘Allahu Akbar! Khaibar is ruined. Whenever we approach near a (hostile) nation (to fight) then evil will be the morning of those who have been warned.’ He repeated this thrice. The people came out for their jobs and some of them said, ‘Muhammad (has come).’ (Some of our companions added, “With his army.”) We conquered Khaibar, took the captives, and the booty was collected. Dihya came and said, ‘O Allah’s Prophet! Give me a slave girl from the captives.’ The Prophet said, ‘Go and take any slave girl.’ He took Safiya bint Huyai. A man came to the Prophet and said, ‘O Allah’s Apostles! You gave Safiya bint Huyai to Dihya and she is the chief mistress of the tribes of Quraiza and An-Nadir and she befits none but you.’ So the Prophet said, ‘Bring him along with her.’ So Dihya came with her and when the Prophet saw her, he said to Dihya, ‘Take any slave girl other than her from the captives.’ Anas added: The Prophet then manumitted her and married her.”
Thabit asked Anas, “O Abu Hamza! What did the Prophet pay her (as Mahr)?” He said, “Her self was her Mahr for he manumitted her and then married her.” Anas added, “While on the way, Um Sulaim dressed her for marriage (ceremony) and at night she sent her as a bride to the Prophet. So the Prophet was a bridegroom and he said, ‘Whoever has anything (food) should bring it.’ He spread out a leather sheet (for the food) and some brought dates and others cooking butter. (I think he (Anas) mentioned As-Sawiq). So they prepared a dish of Hais (a kind of meal). And that was Walrma (the marriage banquet) of Allah’s Apostle.” 

Sahih Al-Bukhari, Volume 5, Book 59, Number 522 
Dinarasikan oleh Anas bin Malik:
Kami tiba di Khaibar, dan pada waktu Allah membantu Nabi mengalahkan Khaibar, kecantikan Safiya bint Huyai bin Akhtaq yang suaminya telah terbunuh saat Safiya menjadi istrinya, diberitahukan kepada Nabi. Nabi memilih Safiya untuk diri beliau dan membawanya, dan pada waktu kami mencapai tempat yang bernama Sidd-as-Sahba, Safiya telah bersih dari menstruasinya kemudian Nabi menikahinya. Hais (sejenis makanan Arab) disiapkan di sebuah alas kulit kecil. Kemudian Nabi berkata kepada saya, “Saya undng orang-orang disekitarmu.” Maka itu menjadi banquet pernikahan Nabi dan Safiya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Medina, dan saya melihat Nabi sedang membuat semacam bantalan untuk Safiya dengan kerudungnya dibelakangnya (di unta beliau). Beliau kemudian duduk disamping untanya dan memberikan lutunya untuk pijakan Safiya menaiki unta. 

versi bahasa Inggrisnya: 
Narrated Anas bin Malik:
We arrived at Khaibar, and when Allah helped His Apostle to open the fort, the beauty of Safiya bint Huyai bin Akhtaq whose husband had been killed while she was a bride, was mentioned to Allah’s Apostle. The Prophet selected her for himself, and set out with her, and when we reached a place called Sidd-as-Sahba,’ Safiya became clean from her menses then Allah’s Apostle married her. Hais (i.e. an ‘Arabian dish) was prepared on a small leather mat. Then the Prophet said to me, “I invite the people around you.” So that was the marriage banquet of the Prophet and Safiya. Then we proceeded towards Medina, and I saw the Prophet, making for her a kind of cushion with his cloak behind him (on his camel). He then sat beside his camel and put his knee for Safiya to put her foot on, in order to ride (on the camel). 

Kutipan berikut dari Haekal “Sejarah Hidup Muhammad”. 

Shafia bt. Huyayy b. Akhtab dari Banu Nadzir termasuk salah seorang tawanan yang oleh kaum Muslimin diambil dari benteng Khaibar. Dia isteri Kinana bin’l-Rabi’. Setahu pihak Muslimin, di tangan Kinana inilah harta-benda Banu Nadzir itu disimpan. Ketika Nabi menanyakan harta itu kepadanya, ia bersumpah-sumpah bahwa dia tidak mengetahui tempatnya. “Kalau kami dapati di tempatmu, mau kamu dibunuh?” tanya Muhammad.

“Ya,” jawab Kinana.

Salah seorang dari mereka ini pernah melihat Kinana sedang mundar-mandir pada sebuah puing, dan hal ini disampaikan kepada Nabi. Oleh Nabi diperintahkan supaya puing itu digali dan dari dalam puing itulah harta simpanan itu dikeluarkan. Kinana akhirnya dibunuh karena perbuatannya itu. 

Sekarang Shafia berada ditangan Muslimin sebagai salah seorang tawanan perang.

“Shafia adalah ibu Banu Quraidza dan Banu Nadzir. Dia hanya pantas buat tuan,” demikian dikatakan kepada Nabi.

Setelah wanita itu dimerdekakan kemudian ia diperisteri oleh Nabi seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang besar yang menang perang. Mereka kawin dengan puteri-puteri orang-orang besar guna mengurangi tekanan karena bencana yang dialaminya dan memelihara pula kedudukannya yang terhormat.

Kuatir akan timbulnya dendam kepada Rasul dalam hati wanita – yang baik ayahnya, suaminya atau pun golongannya sudah terbunuh itu – maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar Abu Ayyub Khalid al-Anshari dengan membawa pedang terhunus berjaga-jaga di sekitar kemah tempat perkawinan Muhammad dengan Shafia itu dilangsungkan. Pagi harinya, setelah Rasul melihatnya, ia ditanya: “Ada apa?”

“Saya kuatir akan keselamatan tuan dari perbuatan wanita itu,” katanya, “karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah dibunuh sedang belum selang lama dia masih kafir.” 

Lebih ironis lagi cerita mengenai kematian Kinana, suami Safiya. Nabi menanyakan harta bani Nadir yang disembunyikan oleh Kinana. Nabi berkata: “Kalau kami dapati di tempatmu, mau kamu dibunuh?” Harta bani Nadir akhirnya diketemukan dan Kinana dibunuh. Dia mati oleh ancaman Nabi karena terbukti menyembunyikan harta milik Bani Nadir. 

Kebanyakan penulis modern tidak menulis bagaimana Kinana dibunuh. Buku sejarah Nabi paling awal yang ditulis oleh Ibn Ishaq atau juga buku al-Tabari menceritakan kejadian ini dengan lebih detail. 

(“Sirat Rasulallah” — “Life of the Prophet of Allah”. Buku ini ditulis oleh Ibn Ishaq, dan kemudian disarikan oleh Ibn Hisham. Ini ditulis sbelum buku-buku hadiths utama. Dianggap sebagai sumber paling asli mengenai sejarah hidup Nabi. Buku ini kemudian diterjemahkan dalam bhs Inggris oleh A. Guillaume as “The Life of Muhammad”). Kutipan berikut diambil dari edisi bhs Inggris (hal 515): 

“Kinana al-rabi, orang yang menyimpan (menjaga) harta Bani Nadir, dibawa menghadap Nabi yang menanyakan kepadanya mengenai harta itu. Dia menyangkal mengetahui keberadaan harta itu. Seorang Yahudi datang (Tabri bilang orang Yahudi ini “dibawa”) menghadap Nabi dan berkata bahwa dia melihat Kinana mondar mandir pada suatu puing setiap fajar. Pada waktu Nabi berkata kepada Kinana “Kamu tahu kalau kami menemukan bahwa kamu memiliki harta itu saya akan bunuh kamu?” Dia berkata “Ya”. Nabi memerintahkan puing itu untuk digali dan beberapa harta itu diketemukan. Pada waktu Nabi menanyakan mengenai harta lainnya dia menolak memberitahunya, sehingga Nabi memerintahkan al-Zubayr Al-Awwam. “Siksa sampai dia bicara apa yang dia miliki.” Maka dia menyalakan api dengan batu api (flint) dan besi kedalam dadanya sampai dia hampir mati. Kemudian Nabi menyerahkan dia kepada Muhammad b. Maslama dan dia memenggal kepalanya. Sebagai balasan untuk saudaranya Mahmud.” 

versi bahasa Inggrisnya: 
“Kinana al-Rabi, who had the custody of the treasure of Banu Nadir, was brought to the apostle who asked him about it. He denied that he knew where it was. A Jew came (Tabari says “was brought”), to the apostle and said that he had seen Kinana going round a certain ruin every morning early. When the apostle said to Kinana, “Do you know that if we find you have it I shall kill you?” He said “Yes”. The apostle gave orders that the ruin was to be excavated and some of the treasure was found. When he asked him about the rest he refused to produce it, so the apostle gave orders to al-Zubayr Al-Awwam, “Torture him until you extract what he has.” So he kindled a fire with flint and steel on his chest until he was nearly dead. Then the apostle delivered him to Muhammad b. Maslama and he struck off his head, in revenge for his brother Mahmud.” 

Banyak sekali cerita mengenai pernikahan Nabi dengan Safiya dan serangan ke Khaibar yang dapat dijumpai di sumber-sumber Islam. Saya hanya kutip beberapa saja. Tentu saja biasa saja dalam pandangan kita sebagai Muslim membaca cerita mengenai Khaibar dan Safiya ini. Mereka kan musuh Nabi dan Islam. Mereka kan yang selalu mencari-cari kesalahan. Walaupun demikian sulit bagi saya untuk memahami bagaimana bisa seorang wanita yang suami, orang tua dan suadara-saudaranya mati dibunuh oleh pasukan Nabi (dan atas perintah Nabi), hartanya dirampas dan kemudian saat itu juga Nabi mengambil Safiya sebagai tawanan untuk dirinya, membebaskannya dan kemudian menikahinya? Pernikahan itu terjadi cuma dalam hitungan hari setelah serangan Khaibar, setelah suaminya disiksa dan dibunuh dengan sangat kejam? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Safiya saat itu? Apakah dia punya pilihan lebih baik dari pinangan Nabi setelah semua kejadian itu? 

Bagaimana dengan perintah Allah dalam Quan mengenai “Idah” (waktu menunggu seorang janda untuk bisa nikah lagi). Bukankah Safiya baru saja menjadi janda karena suaminya mati dibunuh? 

(Quran S 2:234) 
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (235) Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. 

Nabi Muhammad dan Mariyah 

Buku biografi Nabi “Sealed Nectar” oleh penulis modern (oleh Saif-ur-Rahman al-Mubarakpuri) menyatakan bahwa Nabi memiliki wanita simpanan bernama Mariyah yang merupakan hadiah dari pejabat/penguasa Mesir waktu itu. Dengan Mariyah, Nabi memperoleh anak laki-laki bernama Ibrahim yang meninggal pada saat masih kecil di Medina pada th 10AH. Banyak catatan mengenai kehidupan Nabi dengan Mariyah ini. Mungkin kita bertanya-tanya bagimana mungkin Nabi memiliki hubungan dengan orang yang bukan istrinya sampai memiliki anak? Buku yang sama kemudian menyatakan bahwa Mariyah akhirnya menjadi istri Nabi setelah kelahiran Ibrahim. Jadi sebelum kelahiran Ibrahim, Nabi berhubungan dengan Mariyah bukan dalam status sebagai suami istri. 

Nabi suatu saat berhubungan dengan Mariyah di rumah Hafsa (istri Nabi, anak Umar, kalifa ke-2) pada waktu Hafsa tidak ada di rumah. Hal ini menimbulkan kecemburuan yang sangat besar bagi Hafsa. Menyadari kecemburuan Hafsa, Nabi bersumpah tidak akan melakukan hal ini lagi supaya Hafsa tidak menceritakan kejadian ini ke istri Nabi yang lain. 

Berikut kutipan dari penulis modern Muhammad H. Haykal dalam buku “Sejarah Nabi Muhammad” mengenai kejadian ini:

Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafsha pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafsha dan agak lama. Bila kemudian Hafsha kembali pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.

“Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi,” kata Hafsha. “Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu.” 

Muhammad segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang telah mendorong Hafsha menyatakan apa yang telah disaksikannya itu serta membicarakannya kembali dengan Aisyah atau isteri-isterinya yang lain. Dengan maksud hendak menyenangkan perasaan Hafsha, ia bermaksud hendak bersumpah mengharamkan Maria buat dirinya kalau Hafsha tidak akan menceritakan apa yang telah disaksikannya itu. Hafsha berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu sudah begitu berkecamuk dalam hati, sehingga dia tidak lagi sanggup menyimpan apa yang ada dalam hatinya, dan ia pun menceritakan lagi hal itu kepada Aisyah….” 

Akibat kejadian ini Nabi mendiamkan istri-istrinya selama satu bulan. Sehubungan dengan ini Allah menurunkan Sura Tahrim S 66:1~5 (tidak semua sependapat dalam mengkaitkan sura ini dengan cerita Hafsa dan Mariya, lihat tulisan di bawah). 

(1) Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(2) Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(3) Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

(4) Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

(5) Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. 

Dalam buku yang sama Muhammad H. Haykal menambahkan hal berikut berkaitan dengan cerita Hafsa dan Mariya dan kaitannya dengan S 66:1~5. 

Apa yang sudah saya ceritakan tentang Muhammad yang sudah meninggalkan isteri-isterinya dan menyuruh mereka supaya memilih, peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah ditinggalkan serta beberapa kejadian yang sebelum itu dan akibatnya, menurut hemat saya itulah cerita yang sebenarnya mengenai sejarah kejadian ini. Cerita ini saling menguatkan satu sama lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab hadis. Demikian juga adanya keterangan-keterangan di sana-sini mengenai diri Muhammad dan isteri-isterinya dalam pelbagai buku biografi itu. Sungguhpun begitu tiada sebuah juga buku-buku sejarah itu yang membawa peristiwa ini atau mengemukakan peristiwa-peristiwa sebelumnya serta kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya seperti yang saya kemukakan dalam buku ini. Dalam menghadapi kejadian seperti ini oleh buku-buku sejarah Nabi itu kebanyakan dilewati begitu saja tanpa ditelaah lebih lanjut; seolah-olah ini dilihatnya sebagai barang yang kesat dipegang dan takut sekali mendekatinya. Ada lagi yang menelaah soal madu dan maghafir, tanpa sepatah kata juga menyebut-nyebut soal Hafsha dan Maria. 

Sebaliknya oleh pihak Orientalis – soal Hafsha dan Maria, soal Hafsha yang membuka rahasia kepada Aisyah – hal yang dijanjikan kepada Nabi akan dirahasiakan – dijadikannya pangkal sebab semua kejadian itu. Dengan demikian mereka berusaha hendak menambah hal-hal baru untuk meyakinkan pembacanya tentang diri Nabi, bahwa dia laki-laki yang senang kepada wanita dengan cara yang tidak bersih. Menurut hemat saya, penulis-penulis sejarah dari kalangan Muslimin sendiri tidak punya alasan akan mengabaikan kejadian-kejadian ini dengan segala artinya yang sangat dalam itu seperti sudah sebagian kita kemukakan soalnya. Sedang pihak Orientalis, yang dalam hal ini sudah terpengaruh oleh nafsu ke-kristenannya, mereka sudah menyalahi cara-cara penelitian sejarah. Terhadap siapa pun lepas dari orang besar seperti Muhammad – kritik sejarah yang murni tidak dapat menerima bahwa pengungkapan Hafsha kepada Aisyah karena ia telah menemui suaminya dalam rumahnya dengan hamba sahayanya yang sudah menjadi haknya itu dan dengan demikian ia halal baginya – akan dijadikan suatu sebab kenapa Muhammad sampai meninggalkan semua isteri selama sebulan penuh, serta mengancam mereka semua akan diceraikan. Juga kritik sejarah yang murni tidak dapat menerima bahwa cerita madu itu telah juga dijadikan sebab adanya perpisahan dan ancaman itu. 

Apabila orang itu orang besar seperti Muhammad, lemah-lembut seperti Muhammad, berlapang dada, tahan menderita, orang berwatak dengan segala sifat-sifat yang ada pada Muhammad, yang sudah sepakat diakui pula oleh semua penulis sejarah hidupnya, maka menggambarkan salah satu dari kedua peristiwa itu an sich sebagai sebab ia memisahkan diri dan mengancam hendak menceraikan isteri, adalah suatu hal yang kebalikannya, jauh daripada suatu cara kritik sejarah. Sebaliknya, kritik yang akan dapat diterima orang dan sejalan pula dengan logika sejarah ialah apabila peristiwa-peristiwa itu mengikuti jejak yang sebenarnya, yang akan membawa kepada kesimpulankesimpulan yang sudah pasti tidak bisa lain akan ke sana. Maka dengan demikian ia akan menjadi masalah biasa, masuk akal dan secara ilmiah dapat diterima. Dan apa yang sudah kita lakukan ini menurut hemat saya adalah langkah yang wajar dalam peristiwa itu, yakni yang sesuai dengan kebijaksanaan Muhammad, dengan segala kebesarannya, keteguhan hati serta pandangannya yang jauh. 

Tafsir Jalalain mengatakan hal yang sama mengenai alasan turunnya surat At-Tahrim S66:1-5 
001. (Hai nabi! Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu) mengenai istri budak wanitamu, yakni Mariyah Qibtiah; yaitu sewaktu Nabi saw. menggaulinya di rumah Hafshah, sedangkan pada waktu itu Siti Hafshah sedang tidak ada di rumah. Lalu datanglah Siti Hafshah, dan ia merasa keberatan dengan adanya hal tersebut yang dilakukan oleh Nabi saw. di dalam rumahnya dan di tempat tidurnya. Lalu kamu mengatakan, dia (Siti Mariyah) haram atas diriku (kamu mencari) dengan mengharamkannya atas dirimu (keridaan istri-istrimu) kerelaan mereka terhadap dirimu. (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) Dia telah mengampunimu atas tindakan pengharamanmu itu.
002. (Sesungguhnya Allah telah mewajibkan) telah mensyariatkan (kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian) artinya kalian melepaskan diri dari sumpah yang telah kalian katakan dengan cara membayar kifarat sebagaimana yang telah disebutkan di dalam surat Al-Maidah. Dan termasuk di antara sumpah-sumpah itu ialah mengharamkan budak wanita. Apakah Nabi saw. membayar kifarat? Muqatil mengatakan, bahwa Nabi saw. telah memerdekakan seorang budak sebagai kifaratnya yang telah mengharamkan Siti Mariyah atas dirinya. Akan tetapi Hasan mengatakan, bahwa Nabi saw. tidak membayar kifarat, karena sesungguhnya ia telah mendapat ampunan dari Allah (dan Allah adalah Pelindung kalian) yang menolong kalian (dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).
003. (Dan) ingatlah (ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya) yakni kepada Siti Hafshah (suatu pembicaraan) tentang mengharamkan Siti Mariyah atas dirinya, kemudian Nabi saw. berkata kepada Siti Hafshah, “Jangan sekali-kali kamu membuka rahasia ini.” (Maka tatkala menceritakan peristiwa itu) kepada Siti Aisyah, ia menduga bahwa hal ini tidak dosa (dan Allah memberitahukan hal itu) Dia membukanya (kepadanya) yakni kepada Nabi Muhammad tentang pembicaraan Siti Hafshah kepada Siti Aisyah itu (lalu dia memberitahukan sebagiannya) kepada Siti Hafshah (dan menyembunyikan sebagian yang lain) sebagai kemurahan dari dirinya terhadap dia. (Maka tatkala dia, Muhammad, memberitahukan pembicaraan itu, lalu Hafshah bertanya, “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Telah diberitahukan kepadaku oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Waspada”) yakni Allah swt.
004. (Jika kamu berdua bertobat) yakni Siti Hafshah dan Siti Aisyah (kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong) cenderung untuk diharamkannya Siti Mariyah, artinya, kamu berdua merahasiakan hal tersebut dalam hati kamu, padahal Nabi saw. tidak menyukai hal tersebut, dan hal ini adalah suatu perbuatan yang berdosa. Jawab Syarat dari kalimat ini tidak disebutkan, yakni jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka tobat kamu diterima. Diungkapkan dengan memakai lafal quluubun dalam bentuk jamak sebagai pengganti dari lafal qalbaini, hal ini tiada lain karena dirasakan amat berat mengucapkan dua isim tatsniah yang digabungkan dalam satu lafal (dan jika kamu berdua saling bantu-membantu) lafal tazhaahara artinya bantu-membantu. Menurut qiraat yang lain dibaca tazhzhaharaa bentuk asalnya adalah Tatazhaaharaa, kemudian huruf ta yang kedua diidgamkan ke dalam huruf zha sehingga jadilah tazhzhaaharaa (terhadapnya) terhadap Nabi saw. dalam melakukan hal-hal yang tidak disukainya, yakni membuat susah Nabi saw. (maka sesungguhnya Allah adalah) lafal huwa ini merupakan dhamir fashl (Pelindungnya) maksudnya, yang menolongnya (dan begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang saleh) seperti Abu Bakar dan Umar r.a. Lafal ini diathafkan secara mahall kepada isimnya inna, yakni begitu pula mereka akan menjadi penolongnya (dan selain dari itu malaikat-malaikat) yaitu sesudah pertolongan Allah dan orang-orang yang telah disebutkan tadi (adalah penolongnya pula) maksudnya mereka semua menjadi penolong Nabi terhadap kamu berdua.
005. (Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Rabbnya) maksudnya, jika nabi menceraikan istri-istrinya (akan memberi ganti kepadanya) dapat dibaca yubdilahu dan yubaddilahu (dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian) lafal azwaajan ini menjadi khabar dari lafal ‘asaa sedangkan jumlah an yubdilahu dan seterusnya menjadi jawab syarath. Di sini tidak ada badal karena apa yang disebutkan pada syarat tidak terjadi, yakni perceraian itu tidak pernah terjadi (yang patuh) artinya mengakui Islam (yang beriman) yakni ikhlas hatinya kepada Islam (yang taat) mereka taat (yang bertobat, rajin beribadat, rajin berpuasa) yakni gemar melakukan puasa atau yang berhijrah (yang janda dan yang perawan) 

Seperti diceritakan diatas, beberapa kalangan mengkaitkan sura 66:1~5 dengan masalah soal madu dan maghafir, tanpa sepatah kata juga menyebut-nyebut soal Hafsha dan Maria meskipun cerita ini dinyatakan di berbagai biografi Nabi dan tafsir Quran yang lain. (Ibn Kathir mengkaitkan S 66:1~5 dengan peristiwa madu dan maghafir). Disini perlu dicatat bahwa penolakan kaitan antara S 66: 1~5 ini tidak dengan sendirinya menghilangkan cerita mengenai Hafsa dan Maria. 

Dari cerita ini kita melihat bahwa Nabi berhubungan dengan Mariyah (yang waktu itu masih berstatus budak wanita) tanpa ikatan perkawinan. Tentu saja bagi banyak muslim hal ini tidak menjadi masalah karena kita tidak bisa mengukur kejadian ini dengan kriteria kita sekarang. Saya bertanya : Mengapa demikian? Bukankah Nabi adalah panutan umat, dulu, sekarang, maupun sampai akhir zaman. Saya lebih kaget lagi bahwa apa yang dilakukan Nabi diijinkan Allah seperti dinyatakan dalam Quran. Bukankah Quran menyatakan bahwa hukumnya syah, halal bagi setiap muslim untuk berhubungan badan dengan budak perempuan miliknya tanpa ikatan perkawinan? Bahwa muslim boleh memuaskan nafsunya dengan budak perempuan berapapun yang diingini? 

Ayat berikut menunjukkan bahwa orang muslim diijinkan untuk berhubungan badan dengan budak-budak perempuan yang mereka miliki tanpa ikatan perkawinan. 

(S 70:22) kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, (23) yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya, (24) dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, (25) bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), (26) dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, (27) danorang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. (28) Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). (29) Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (30) kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. 

Ayat berikut menyatakan hal yang sama. 

(S23:5) dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (6) kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. 

Ayat berikut mengijinkan muslim untuk memuaskan dirinya dengan budak-budak perempuannya: 

(S4:3) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 

(Tafsir Ibn Kathir)…<Kemudian> Ayat ini memerintahkan, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil antara istri-istrimu jika menikah lebih dari satu, maka nikahilah seorang saja atau puaskan dirimu dengan budak-budak wanita yang kamu miliki, karana dalam hal ini tidak menjadi keharusan untuk memperlakukan mereka secara adil. 

Dan Tafsir Jalalain sbb: 

(S4:3) (Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini (atau) hendaklah kamu batasi pada (hamba sahaya yang menjadi milikmu) karena mereka tidak mempunyai hak-hak sebagaimana istri-istri lainnya. (Yang demikian itu) maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau mengambil hamba sahaya (lebih dekat) kepada (tidak berbuat aniaya) atau berlaku lalim. 

Ayat berikut menyatakan larangan bagi muslim untuk mengawini wanita yang bersuami kecuali budak yang mereka miliki.

(4:24) dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 

Konteks ayat diatas diterangkan dalam Hadiths Muslim, Book 008, Number 3432 berikut: 
Abu Sa’id al Khudri melaporkan bahwa dalam perang Hanain Nabi mengirim pasukan ke Autas dan mejumpai lawan dan beretempur dengan mereka. Setelah mengalahkan mereka dan menangkap tawanan, sahabat Nabi kelihatan menahan diri untuk berhubungan badan dengan tawanan wanita karena suami tawanan itu seorang polytheists. Kemudian Allah, Most High, menurunkan ayat berkaitan dengan hal ini: “Dan perempuan-perempuan yang sudah menikah, kecuali budak-budak perempuan (ayat 4:24)” (yaitu mereka halal bagi muslim setelah masa idda-nya berakhir) 

versi bahasa Inggrisnya: 
Abu Sa’id al-Khudri (Allah her pleased with him) reported that at the Battle of Hanain Allah’s Messenger (may peace be upon him) sent an army to Autas and encountered the enemy and fought with them. Having overcome them and taken them captives, the Companions of Allah’s Messenger (may peace te upon him) seemed to refrain from having intercourse with captive women because of their husbands being polytheists. Then Allah, Most High, sent down regarding that:” And women already married, except those whom your right hands possess (iv. 24)” (i. e. they were lawful for them when their ‘Idda period came to an end). 

Tafsir Jalalain menerangkan ayat tsb sbb: 

024. (Dan) diharamkan bagimu (wanita-wanita yang bersuami) untuk dikawini sebelum bercerai dengan suami-suami mereka itu, baik mereka merdeka atau budak dan beragama Islam (kecuali wanita-wanita yang kamu miliki) yakni hamba-hamba sahaya yang tertawan, maka mereka boleh kamu campuri walaupun mereka punya suami di negeri perang, yakni setelah istibra’ atau membersihkan rahimnya (sebagai ketetapan dari Allah) kitaaba manshub sebagai mashdar dari kata dzaalika; artinya telah ditetapkan sebagai suatu ketetapan dari Allah (atas kamu, dan dihalalkan) ada yang membaca uhilla bentuk pasif ada pula ahalla bentuk aktif (bagi kamu selain yang demikian itu) artinya selain dari wanita-wanita yang telah diharamkan tadi (bahwa kamu mencari) istri (dengan hartamu) baik dengan maskawin atau lainnya (untuk dikawini bukan untuk dizinahi) (maka istri-istri) dengan arti faman (yang telah kamu nikmati) artinya campuri (di antara mereka) dengan jalan menyetubuhi mereka (maka berikanlah kepada mereka upah mereka) maksudnya maskawin mereka yang telah kamu tetapkan itu (sebagai suatu kewajiban. Dan kamu tidaklah berdosa mengenai sesuatu yang telah saling kamu relakan) dengan mereka (setelah ditetapkan itu) baik dengan menurunkan, menambah atau merelakannya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan ciptaan-Nya (lagi Maha Bijaksana)) dalam mengatur kepentingan mereka. 

Ayat berikut menghalalkan Nabi untuk berhubungan dengan budak-budak perempuan. 

(33:50) Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, … 

<dan> artinya “budak-budak wanita yang kamu dapat dari tawanan perang diijinkan untukmu.” Nabi memiliki Safiyah dan Juwayriyah, kemudian Nabi membebaskan dan menikahi mereka, dan Nabi memiliki Rayhanah bint Sham’un An-Nadariyyah dan Mariyah Al-Qibtiyyah, ibu dari anak laki-lakinya yang bernama Ibrahim… (Tafsir Ibn Kathir) 

Hubungan Nabi dengan Sawdah bint Zam‘a 

Dalam ayat berikut Allah memberikan aturan mengenai suami yang “mengabaikan” istrinya: 

(4:128) Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (129) Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (130) Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. 

Tafsir Jalalain menerangkan sbb: 
128. (Dan jika seorang wanita) imra-atun marfu’ oleh fi’il yang menafsirkannya (takut) atau khawatir (dari suaminya nusyuz)) artinya sikap tak acuh hingga berpisah ranjang daripadanya dan melalaikan pemberian nafkahnya, adakalanya karena marah atau karena matanya telah terpikat kepada wanita yang lebih cantik dari istrinya itu (atau memalingkan muka) daripadanya (maka tak ada salahnya bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya). Ta yang terdapat pada asal kata diidgamkan pada shad, sedang menurut qiraat lain dibaca yushliha dari ashlaha. Maksud perdamaian itu ialah dalam bergilir dan pemberian nafkah, misalnya dengan sedikit mengalah dari pihak istri demi mempertahankan kerukunan. Jika si istri bersedia, maka dapatlah dilangsungkan perdamaian itu, tetapi jika tidak, maka pihak suami harus memenuhi kewajibannya atau menceraikan istrinya itu. (Dan perdamaian itu lebih baik) daripada berpisah atau dari nusyuz atau sikap tak acuh. Hanya dalam menjelaskan tabiat-tabiat manusia, Allah berfirman: (tetapi manusia itu bertabiat kikir) artinya bakhil, seolah-olah sifat ini selalu dan tak pernah lenyap daripadanya. Maksud kalimat bahwa wanita itu jarang bersedia menyerahkan haknya terhadap suaminya kepada madunya, sebaliknya pihak laki-laki jarang pula yang memberikan haknya kepada istri bila ia mencintai istri lain. (Dan jika kamu berlaku baik) dalam pergaulan istri-istrimu (dan menjaga diri) dari berlaku lalim atau aniaya kepada mereka (maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan) hingga akan memberikan balasannya. 
129. (Dan kamu sekali-kali takkan dapat berlaku adil) artinya bersikap sama tanpa berat sebelah (di antara istri-istrimu) dalam kasih sayang (walaupun kamu amat menginginkan) demikian. (Sebab itu janganlah kamu terlalu cenderung) kepada wanita yang kamu kasihi itu baik dalam soal giliran maupun dalam soal pembagian nafkah (hingga kamu tinggalkan) wanita yang tidak kamu cintai (seperti bergantung) janda tidak bersuami pun bukan. (Dan jika kamu mengadakan perjanjian) yakni dengan berlaku adil dalam mengatur giliran (dan menjaga diri) dari berbuat kecurangan (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap kecenderungan yang terdapat dalam hatimu (lagi Maha Penyayang) kepadamu dalam masalah tersebut. 

Ayat ini turun berkaitan dengan perlakuan “tidak acuh” Nabi terhadap istri beliau yang bernama Sawdah bint Zamah. 

Tafsir Quran Ibn Kathir menyatakan sbb: 
Mencari jalan damai adalah lebih baik daripada perceraian. Salah satu contoh mengenai perdamaian semcam ini dapat dilihat dari cerita Sawdah bint Zam’ah yang pada waktu dia menajadi tua, nabi ingin menceraikannya, tapi Sawdah minta berdamai dengan Nabi dengan menawarkan gilirannya dimana Nabi biasa menghabiskan malam dengannya untuk diberikan kepada Aisha sehingga Nabi tetap mempertahankannya sebagai istrinya. Nabi menerima tawaran ini dan tetap mempertahankan Sawdah sbg istrinya. 
versi bahasa Inggrisnya: 
<And>. `Ali bin Abi Talhah related that Ibn `Abbas said that the Ayah refers to, “When the husband gives his wife the choice between staying with him or leaving him, as this is better than the husband preferring other wives to her.” However, the apparent wording of the Ayah refers to the settlement where the wife forfeits some of the rights she has over her husband, with the husband agreeing to this concession, and that this settlement is better than divorce. For instance, the Prophet kept Sawdah bint Zam`ah as his wife after she offered to forfeit her day for `A’ishah. By keeping her among his wives, his Ummah may follow this kind of settlement. … 

Tafsir Quran Al-Tabari menyatakan sbb: 
Umar bin Ali dan Zaid bin Ahram berkata: dari Abu Abu Dawud, berkata:dari Sulaiman bin Muath, dari Simak bin Harb, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, berkata: Saudah takut diceraikan Rasul Allah, maka dia berkata:Jangan ceraikan saya, dan jangan berbagi dengan saya! Dan dia lakukan, dan ayat ini diturunkan: Jika Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. 
versi bahasa Inggrisnya: 
Umra bin Ali & Zaid bin Ahram said: second by Abu Dawud, said: second by Sulaiman bin Mu’ath, from Simak bin Harb, from Ikrimah, from Ibn Abbas, said: Saudah feared divorce by the messenger of Allah, so she said: Do not divorce me, and do not share with me! And he did, and this verse was revealed: And if a woman fears ill usage or desertion on the part of her husband. 

Haekal dalam Sejarah Nabi Muhammad menulis, 
Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu hari mereka mengutus Zainab bt. Jahsy kepada Nabi di rumah Aisyah dan dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia berlaku tidak adil terhadap para isterinya, dan karena cintanya kepada Aisyah ia telah merugikan yang lain. Bukankah setiap isteri mendapat bagian masing-masing sehari semalam? Kemudian juga Sauda; karena melihat Nabi menjauhinya dan tidak bermuka manis kepadanya, maka supaya Rasul merasa senang, ia telah mengorbankan waktu siang dan malamnya itu untuk Aisyah. Dalam berterusterang itu Zainab tidak hanya terbatas dengan mengatakan Nabi bersikap tidak adil di antara para isteri, bahkan juga ia telah mencerca Aisyah yang ketika itu sedang duduk-duduk, sehingga membuat Aisyah bersiap hendak membalasnya kalau tidak karena adanya isyarat dari Nabi, yang membuat dia jadi tenang kembali. Akan tetapi Zainab begitu bersikeras menyerangnya dan mencerca Aisyah melampaui batas, sehingga tak ada jalan lain buat Nabi kecuali membiarkan Aisyah membela diri. Ketika itu Aisyah membalas bicara dan membuat Zainab jadi terdiam. Dengan demikian Nabi merasa senang dan kagum sekali terhadap puteri Abu Bakr itu. 

Hal tsb dinyatakan di tafsir-tafsir Quran yang lain, Sahih hadiths dan sumber islam lainnya, yang terlalu banyak jika saya tuliskan disini. 
Ironisnya, dalam banyak diskusi, seringkali orang-orang yang tidak setuju tentang poligami mengutip (S 4:129) “kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil” sebagai bukti bahwa Quran sebenarnya tidak membolehkan poligami. Di ayat (S 4:3), Allah menyatakan bagi muslim untuk menikah dengan seorang saja jika dia tidak bisa berlaku adil. Dengan demikian, Allah sebenarnya tidak membolehkan poligami. Begitu justifikasi mereka. (Kalau begitu kenapa Allah menurunkan S 4:3 meskipun menyatakan bahwa laki-laki tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya?). 

Berdasarkan konteks yang ada, ayat (4:129) ini turun dalam kaitannya dengan peristiwa Nabi dengan Sawdah. Allah menyatakan bahwa Nabi, walaupun ingin, tapi sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sebagai contoh adalah hati Nabi lebih condong kepada Aisha. Sawdah yang relatif sudah berusia diabaikannya. Nabi ingin menceraikan Saudah tapi Saudah lebih memilih untuk berdamai dan memberikan gilirannya untuk Aisha. 

Dalam hati saya bertanya: mengapa Allah menurunkan ayat seperti ini? Dan mengapa Nabi Muhammad bersikap seperti itu? Sawdah memang diceritakan tidak menarik selain sudah tua, tapi bukankah bisa tetap mendapatkan giliran dari Nabi tanpa berhubungan ataupun kalau misalnya tidak diberi giliran, kenapa giliran Sawdah harus diberikan hanya kepada Aisya ? Tidak cuma itu, ayat (cerita Sawdah dan Nabi) ini bahkan dijadikan contoh bagaimana seorang istri harus bersikap jika mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya dan bukan malah memperingatkan suami untuk bersikap baik terhadap istrinya? 

 
 
This entry was posted in Uncategorized and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a comment